Wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Selatan dan Polres jajaran merupakan salah satu propinsi yang penduduknya
mayoritas beragama islam dari berbagai suku serta memiliki temperamen
tinggi.
Letak geografis antar kabupaten yang sangat berjauhan dan sulit
dijangkau transportasi baik melalui darat maupun perairan, berbagai suku yang
ada di sumatera selatan menjadi salah satu faktor tujuan masuknya aliran atau
paham radikal yang anti pancasila sebagai ideologi bangsa
Dalam rangka menindak lanjuti kebijakan Kapolri
tentang Kabinet Kerja yang dirumuskan dengan Program Nawa Cita serta
implementasi rencana aksi quick wins program IVpembentukan dan pengefektifan
satuan tugas kontra radikal dan deradikalisasi. Polda Sumsel beserta Polres jajarannya
dengan mengedepankan Direktorat Intelkam yang melibatkan unsur Brigade Mobil,
Direktorat Pembinaan Masyarakat, Direktorat Reserse Kriminal Umum dan Bidang
Hubungan Masyarakat, dipandang perlu melaksanakan kegiatan kontra radikal dan
deradikalisasi dengan pola operasi serta kegiatan rutin yang ditingkatkan.
Definisi radikalisme adalah doktrin / ajaran yang
menginginkan perubahan sosial politik secara drastis dengan pembiaran /
setidaknya baik langsung / tidak langsung membuka peluang digunakan kekerasan
sebagai syaratnya ( Legitimied Ideologi ) dan ISIS ( Islamic state Irac
and syiriah ) dimana suatu ideologi yang mengajak warga mencapai kemerdekaan
islam dengan cara kekerasan.
Aktualita ancaman yaitu sparatis dimana tujuan
mendirikan negara sendiri dengan cara merdeka / memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), seperti ex gerakan aceh merdeka ( GAM ),
organisasi papua merdeka ( OPM ), republik maluku selatan ( RMS ) dan yang saat
ini adalah ISIS dan media yang digunakan antara lain ; eletronik, cetak,
lingkungan sosial dan kekerabatan dan informatika tekhonologi/ internet.
Target, awalnya radikalisme menargetkan kepentingan
amerika, barat dan sekutunya, dan pemerintah, tni dan polri khususnya yang
dianggap THOGHUT (pemerintahan setan) karena selama ini dianggap
menghalang-halangi tujuan mereka, dan dalam perkembangan kelompok radikal dan
ISIS yang ada di Indonesia khususnya sumatera selatan, juga menargetkan bagian
dari masyarakat / publik itu sendiri menjadi target rekrutmennya apabila
dianggap berseberangan dengan paham / ideologi mereka.
Kendala penanganan kelompok radikalisme ISIS, dari
lingkungan internasional adanya wacana global jihad al qaeda yang melawan
amerika dan sekutunya dengan pahamnya perang dan teror kemudian konflik
rohingya sebagai titik tolak semakin besar perkembangannya. dari kompleksitas
masalah bangsa adanya berbagai masalah non ideologis seperti ketidak adilan dan
pemerintah dianggap korup, dari yuridis / payung hukum mengatur
perbuatan-perbuatan meradikalisasi belum diatur oleh undang-undang sehingga
proses radikalisme dan rekrutmen tidak tersentuh oleh hukum dan per
undang-undangan serta bebas mengkontaminasi publik. Dari psikologis dan kultur
masih adanya trauma psikologis di masyarakat terkait hak asasi manusia ( HAM )
dan terdapat kultur budaya masyarakat dimana Intoleransi masih tumbuh subur.
Dampak eksternal radikalisme ISIS dari keterbukaan,
kabaruan, perubahan dan percepatan dalam menerima informasi di masyarakat,
sehingga menimbulkan kelompok radikalisme dan ISIS mendapatkan momentumnya dan
dari over expose oleh media dan mengungkap fakta baik paham radikalisme maupun
ISIS sehingga menjadikan merebaknya nilai ideologis kelompok ini dengan
munculnya dampak empatik dan emosional dari masyarakat terhadap kelompok
tertentu yang diposisikan tidak menguntungkan, sedangkan dari internal yaitu
ketidak tahuannya dan ingin membantu saudaranya yang sesama muslim menjadikan
alasan utama bagi yang mereka ikut serta / mendukung kelompoknya dan minimnya
peran pemerintah dalam tindakan kongkrit melalui program yang riil di lapangan
sehingga masyarakat luas dapat tahu dan mengerti bahwa paham radikalisme dan
ISIS telah dilarang.
Langkah-langkah dan solusi dalam penanganan
radikalisme dan ISIS khususnya di sumatera selatan, terutama yaitu ;
1. Pemerintah dapat melakukan pendekatan lunak ( Soft
Approach ) dengan cara pre emtif dan preventif melalui deradikalisasi
dalam kelompok radikalisme ISIS dimotivasi oleh unsur / motivasi keagamaan ( Religiously
Motivativated )
2. Apabila dianggap sudah sangat mengkhawatirkan
digunakan pendekatan keras ( Hard Approach ) melalui 3 instrumen adalah
militer, intelijen dan penegakan hukum, hal ini dengan maksud untuk mencegah/ meniadakan
segala bentuk kelompok radikalisme ISIS semakin berkembang.
Tindakan konkrit / solusi melalui program riil di
lapangan seperti koordinasi antar elemen masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh
agama dalam program literasi nilai keagamaan inklusif, sehingga segala paham /
ideologi yang dilarang oleh pemerintah dengan cepat dapat ditangani secara ber
sama-sama khususnya di wilayah sumatera selatan.
Kompol Soeryadani,SH, sebagai salah satu
anggota satuan tugas operasi kontra radikal dan deradikalisasi (khusus ISIS)
dan pernah tugas di daerah konflik poso ikut memberikan saran dan masukan,
walaupun kelompok radikalisme dan ISIS dilarang oleh pemerintah tapi faktanya
masih ada dan berkembang, agar tidak ada di sumatera selatan / mencegah dan
menangkal masuk ke wilayah sumsel dan mengeliminir apabila sudah ada maka
pemerintah provinsi dan pemerintah kota / pemerintah daerah bersama-sama Polri,
TNI dan tokoh agama, tokoh masyarakat serta elemen terkait bersama sama
melakukan pendekatan lunak ( Soft Approach ) dalam bentuk sosialisasi
sehingga terbentuk sinergitas dalam memerangi radikalisme dan ISIS dan bukan
semata-mata hanya menjadi tanggung jawab Polri saja, oleh Polda Sumsel dan
jajarannya sudah ditindak lanjuti dengan aplikasi telah dibentuk satuan tugas
operasi kemudian dilanjutkan dengan kegiatan joint analysis tentang pencegahan
melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dan terakhir bagaimana
implementasinya dilapangan sangat diperlukan secara konsisten ditulis oleh
Kompol Soeryadani (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar