Rabu, 27 Januari 2016

STOP PENCABULAN


Beberapa bulan terakhir sering kita lihat dan mendengar dari berbagai media sosial tentang peristiwa pencabulan maupun kekerasan seksual kepada anak-anak. Para pelaku mulai dari orang tua kandug, paman, kakek, tetangga, guru bahkan kepala sekolah.

Peristiwa-peristiwa tersebut diantaranya kasus pencabulan yang dilakukan oleh seorang oknum anggota Polri berusia 22 tahun terhadap anak laki-laki yang berusia 15 tahun di Pagaralam. Pencabulan terhadap anak/ murid sekolah SD oleh gurunya yang berusia 50 tahun di Musi Rawas dengan jumlah korban yang dilaporkan sebanyak 27 orang. Tidak tanggung-tanggung peristiwa ini dilakukan didalam ruang kelas saat memebrikan pelajaran.

Kasus pencabulan terhadap anak kandung yang dilakukan oleh ayahnya yang berusia 47 tahun, berprofesi sebagai tukang becak di Palembang. Pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang pengangguran berusia 23 tahun terhadap wanita berusia 15 tahun di rumah kososng. Kasus seorasng pelajar yang berusia 13 tahun melakukan pencabulan terhadap anak kecil usia 6 tahun akibat sering nonton film porno. Seorang kakek berusia 62 tahun memperkosa anak usia 5 tahun di kebun kopi.

Pencabulan merupakan kecenderungan melakukan aktifitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak-anak, baik laki-laki atau perempuan, dengan iming-iming atau imbalan, dengan ancaman maupuntanpa ancaman. Pencabulan juga dapat diaratikan semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu norma kesusilaan.

Cabul sendiri bermakna keji atau kotor, tidak senonoh (melanggar norma kesusilaan). Dalam  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pencabulan adalah kekerasan yang diancam dengan Pasal 285 dan 289 KUHP.
Menurut UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, tindakan pencabulan terhadap anak diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun. Sedangkan pengertian anak adalah seseorang yang belum berumur 17 tahun.
Adapun penyebab terjadinya pencabulan diantaranya pengaruh perkembangan teknologi informasi seperti kemudahan mengakses internet, sering menonton film porno, media social facebook, blackberry messengger (BBM), instagram, Whatsapp . Bisa juga karena pengaruh alkohol/ mabok, situasi rumah yang kososng maupun adanya kesempatan (tempat sepi), keluarga yang broken home, orang tua yang terlalu sibuk maupun sikap masyarakat yang kurang peduli, tingkat pedidikan yang rendah, pengangguran maupun memanfaatkan posisi pekerjaan/ jabatan, serta adanya rasa ingin tahu.

Beberapa jenis perilaku pencabulan diantaranya exhibionism, yaitu sengaja memamerkan atau mempertontonkan alat kelamin kepada anak. Voyeurism, yaitu orang dewasa yang gemar  mengintip bahkan mencium anak dengan bernafsu. Fonding, yaitu mengelus atau meraba alat kelamin atau payudara anak. Fellatio, yaitu orang dewasa yang memaksa anak untuk melakukan kontak mulut bahkan oral seks.

Apabila dipandang berdasar teori psikoanalisa dari Freud, struktur kepibadian individu terdiri dari 3 komponen yaitu id, ego dan super ego. Id adalah dorongan atau impuls yang lebih mengarah kepada basic insting atau nafsu hewani yang selalu menuntut dipuaskan atau menganut prinsip kesenangan (pleasure principal).

Ego bertugas mewujudkan doronganid ke dalam dunia nyata/ realitas. Sedangkan  super ego berfungsi sebagai norma dasar atau kendali dalam individu untuk menerima atau menolak dorongan id kepada ego dalam dunia realitas Ketiga komponen tersebut yaitu dorongan-dorongan naruli (id),aku (ego) dan hati nurani (super ego) berintergrasi dalam siklus proses psikologi pada diri individu untuk memaknai suatu nilai, memilih dan memutuskan segala permasalahan yang dihadapi dalam hidupnya. Dengan lain kata ketiga komponen tersebut diimplementasikan dalam bentuk perilaku individu saat berinteraksi dengan lingkungannya.

Perilaku cabul bila ditinjau dengan teori di atas digambarkan karena dominannya fungsi id yang selalu menuntut untuk dipuaskan/dipenuhi tanpa memandang norma yang ada serta kurang berfungsinya super ego dalam diri individu sebagai kendali dalam mengimplementasikan keinginana/ dorongan-dorongan id-nya.

Berdasar teori behaviorisme, oleh Bandura, bahwa setiap individu memiliki kecenderungan untuk meniru perilaku orang lain, dengan cara mendengar, melihat maupun mengalami sendiri peristiwa-peristiwa tersebut. Demikian halnya dengan perilaku  cabul, kemungkinan besar para pelaku sudah pernah melihat, mendengar informasi bahkan mengalaminya. Ingat saat ini arus informasi sudah tidak ada batasnya, tayangan kekerasan maupun film porno (blue film) bisa diakses oleh siapa saja dan kapan saja baik melalui internet, handpone maupun media sosial lainnya.

Pada umumnya mereka melakukannya dengan obyek yang lebih lemah posisinya baik secara fisik, status, kekuasaan maupun perannya. Rata-rata pelaku pencabulan dilakukan oleh orang-orang yang dikenal dekat bahkan berpengaruh dengan korban. Bisa orang tua, kakek, guru, paman, tetangga maupun teman. Para pelaku melakukan perbuatan ini untuk memperoleh kesenangan/ kepuasan.
B.F. Skinner dalam teori belajarnya yang terkenal dengan operant conditioning menyebutkan bahwa perilaku/ kebiasaan seseorang itu terbentuk kaena adanya reinforcement atau penguatan. Apabila penguatannya positif, perilaku tersebut akan cenderung diulang. Sebaliknya bila reinforcementnya bersifat negative maka perilaku tersebut akan berhenti.

Perilaku pencabulan yang dilakukan oleh pelaku terhadap anak-anak cenderung memberikan rasa kepuasan atau kesenangan sehingga akan cenderung  diulangi pada kesempatan di masa mendatang baik dengan orang yang sama maupun dengan orang lain yang posisinya lebih lemah dibandingkan pelaku.

Dampak yang mungkin timbul pada anak yang mengalami atau menjadi korban kekerasan seksual diantaranya agresif, suka marah-marah, merasa malu, murung, merasa rendah diri, merasa kotor (tidak suci lagi), minder dalam pergaulan, sedih yang berkepanjangan (depresi) hingga berbuat nekat dengan bunuh diri.

Bebrapa hal yang dapat dilakukan guna mengurangi terjadinya tindakan pencabulan, diantaranya :
1. Seyogyanya orang tua maupun guru memberikan pendidikan seksual keapda anak sejak dini, melatih anak untuk berani mengatakan “TIDAK” kepada siapapun yang berusaha memegang atau meraba alat kelamin anak. Bisa juga dengan berteriak minta “TOLONG” saat mendapatkan perlakuan yang tidak pantas.
2. Meningkatkan kepekaan orang tua dan lingkungan terhadap setiap perubahan perilaku maupun sikap anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua perlu membuka diri dengan berkomunikasi secara interns dengan anak terkait setiap permasalahn yang dihadapi ooleh anak. Dalam hal ini orang tua berperan sebagai tempat curhat atau sharing.
3. Melaporkan peristiwa pencabulan kepada pihak berwenang yaitu Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres/ ta terdekat walaupun hal itu merupakan aib keluarga. Melakukan sosialisasi maupun penyuluhan hukum terkait kekerasan seksual kepada para siswa/ i di sekolah-sekolah.
4. Memblokir situs-situs porno dan menjatuhkan sanksi atau hukuman yang setimpal kepada para pelaku baik berupa sanksi pidana maupun sosial sehingga menimbulkan efek jera.
5. Memberikan pendampingan, konseling dan trauma healing kepada anak korban kekerasan seksual dengan melibatkan psikologi, psikiater, P2TP2A, KPAI, Womens Crisis Centre (WCC).      


Tidak ada komentar:

Posting Komentar